BANTEN | Amangkurat I memang banyak polahnya, dia adalah penguasa yang memindahkan Pusat Kerajaan Mataram dari Karta ke Pletet pada tahun 1647. Keraton lama yang dibangun ayahnya, Sultan Agung dianggap tidak refresentatif lagi untuk dijadikan pusat kekuasaan. Karena konon ceritanya, Keraton Mataram yang dibangun oleh Sultan Agung itu dahulu hanya terbuat dari kayu semata pada tahun 1614 - 1622. Lalu bangunan Keraton yang dibuat Amangkurat I di Pleret terbuat dari batu bata. Hingga Keraton Pleret reski ditinggalkan pada tahun 1680 oleh putra Amangkurat I, yaitu Amangkurat II pindah ke Kartasura. Jadi jelas akibat huru hara yang tidak kunjung bisa diredakan.
Menyimak kisah kepemimpinan Amangkutat I yang ugal-ugalan memimpin Kerajaan Mataram, talah menimbulkan tragedi yang patut dijadikan pelajaran sampai hari ini.
Karena sejarah memang tidak boleh dilupakan. Apalagi kemungkinan kejadian serupa bisa terulang.
Alibat karakter Raja Mataram ke empat yang ugal-ugalan ini telah memicu ketegangan dan kegaduhan yang berkepanjangan. Catatan sejarah "Tush Bumi Mataram: Dari Psnembahan Senopati Hingga Amangkutat II" yang ditulis Peri Mardiyono, mengisahkan tentang pemberontakan di negeri Mataram ketika itu yang dilakukan oleh Trunajaya dengan mrluluhlantakkan Negeri Mataram yang berada di Pleret. Hanya dalam tempo lima hari Pleret bisa dikuasai total.
Bangsawan asal Madura itu, melakukan serangan dengan secara sporadis terhadap Mataram dengan dukungan pasukan dari Makasar.
Syahdan, sebelum menguasai Ibu Kota Mataram di Pleret, Trunajaya trrlebih dahulu menguasai daerah kekuasaan Mataram yang ada di pesisir Utara Pulau Jawa.
Serbuan prontal Trunajaya terjadi pada tahun 1676 di Gedogog dan berhasil hingga total menguasai pedisir Utara Pulau Jawa. Hingga sultan Amangkurat I terdesak dan melarikan diri kembali ke Pleret. Masih dalam pelarian itu pula Amangkurat I wafat.
Konon pemberontakan Trunahaya ini disebabkan sikap dan perilaku kejam dan diktator sang Sultan Amangkurat I terhadap lawan politiknya. Hingga banyak tokoh bangsawan maupun ulama yang telah menjadi korban keganasannya.
Sejumlah tokoh dan ulama yang mrnjadi korban kekejaman Amangkurat I adalah adalah Raden Temenggung Melayakesuma, ayahnya Trunajaya termasuk mertua Amangkurat I sendiri yaitu Pangeran Pekik, anak Adipati Surabaya yang menjadi korban keganasan Amangkurat I.
Dendam kesumat terhadap Amangkurat I dari sejumlah bangsawan di Jawa Timur itu, berlanjut pada pada anak turunan Amangkurat I, yaitu Amangkutat II yang harus menanggung konflik ayahnya semasa hidup dan berkuasa dahulu.
Raden Trunsjaya adalah keturunan penguasa Madura yang dipaksa tinggal di Keraton Mataram, sejak Madura ditaklukkan oleh Mataram pada tahun 1624.Setelah ayahnya Trunajaya dieksekusi pada tahun 1656. karena itu Trunajaya meninggalkan Keraton Mataram dan pindah ke Kajoran dan menikah dengan putri Raden Kajoran sebagai keluarga yang berkuasa di Kajoran.
Babad Tabah Jawi juga mencatat, pembangunan Keraton Amangkurat I dahulu itu juga mengerahkan 300 ribu orang pekerja, seperti informasi yang kini dioeroleh untuk membangun IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara ( Indonesia) di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Konon cerita kisah Amangkurat I berniat membagun Keraton yang megah di Pleret dahulu itu, untuk melebihi pamor yang sudah dimiliki Sultan Agung Haryakrakusuma, pemimpin yang paling kuat di Jawa pada masanya. Namun Keraton Plered yang lebih megah itu, runtuh oleh kepongahan penggagas dan pendirinya sendiri yang lupa diri.
Banten, 8 Oktober 2022