BANTEN | Istilah protokol nasionalis itu sungguh menarik. Nasionalis religius atau relius nasionalis tak ada masalah, karena keduanya sama seperti mata pisau yang sama -- satu juga -- dengan ketajaman mata yang sama untuk membedah, religiusitas nasionalis, arah sebaliknya, nasionalisme religius.
Ikhwal ini saya jadi teringat tesis 10 tahunan yang lalu, terkait pula dengan kesadaran dan pemahaman yang nyaris serupa, yaitu sosialisme Islamis, atau Islamisme sosislis. Maja itu kejernihan berpikir perlu dilandasi oleh spiritual yang baik dan benar. Sebab kalau cuma baik, belum tentu benar. Dan kalau sudah benar, bisakah dikatakan pasti baik perwujudannya.
Islam itu sesungguhnya pasti sisialis. Karena perbuatan yang baik dan benar yang harus dilakukan umat Islam yang benar itu pasti dominan sifat sosialnya. Tapi seorang yang cuma memiliki pemahaman sosialis, belum tentu pemeluk agama Islam.
Karena itu, dahulu ketika kawan-kawan menggagas Forum Islam Sosialis yang bermarkas di Taman Amir
Hamzah Jakarta Pusat, saya keberatan menyebut Islam Sosialis. Meski kemudian singkatan dari ForJis itu sendiri kemudian dibenahi menjadi Forum Jaringan Islam saja yang hingga kini terus gigih berjalan, meski masih tertatih-tatih merangkak dengan sikap kemandiriannya yang tak hendak disusui oleh umban asuhannya yang feodal untuk menjadi semacam orang tua angkat tirinya.
Zakat fitrah dan infak itu dalam terminologi apapun, adalah pemahaman dan kesadaran yang berpijak pada kejujuran dan keikhlasan hati, tanpa satu pihak pun yang boleh marah atau memberi ssnksi kecuali Tuhan. Termasuk keikhlasan menyembelih hewan kurban, jika dahulu cuma kibar, tapi di Indonesia boleh diganti dengan seekor kerbau, hingga terkesan lebih mantap dan Abdol. Toh, bagi yang tidak bisa melakukan kurban pun tak masalah. Tak ada sanksi yang dijanjikan oleh Tuhan. Sebab penyembelihan hewan kurban itu simbolika ritual yang bersifat spiritaul belaka. Begitu pula dengan konsep sedekah dan sebagainya yang terus dijaga dalam tradisi Islam.
Zakat mal itu tak ada satu pihak pun yang berhak menggeledah harta kekayaan atau emas yang dimiliki oleh seseorang yang ingin atau tidak ingin mengeluarkan zakat atau tidak, semuanya atas pemahaman dan kesadaran yang bersangkutan sendiri. Termasuk untuk menghitung berapa jumlah kepingan emas yang harus dia keluarkan dari jumlah emas yang dia miliki.
Jadi sanksi moral, sanksi sosial hanya boleh dibatasi pahalanya dan keyakinan pada dosa semata, karena semua itu bersandar pada keyakinan yang bersangkutan kepada Tuhan.
Sama halnya dengan para pejabat publik yang bersumpah atas nama Tuhan ketika menerima jabatan yang hendak dia pegang. Jika kemudian khianat dan zalim atau bahkan maling dan ngentit duit rakyat, hukum akhiratnya hanya menhadi urusan yang bersangkutan dengan Tuhan. Termasuk hakim yang kemudian main belakang dengan para koruptor dan penjahat kemanusiaan itu, kalau ketahuan bisa dikenakan sanksi hukum seperti yang mereka buat sendiri, tapi kalau tidak maka loloslah yang bersangkutan. Tapi sanksinya hanya ada pada keyakinan kita kepada Tuhan, mau dipercaya atau tidak itu semua sangat tergantung pada moral dan akhlak serta keimanan dari yang bersangkutan sesuai agama yang diyakininya.
Karena itu, konsep Islam -- karena pasti sosialis -- harus dan pasti melawan kapitalisme yang sifat utamanya kapitalisme itu adalah lebih mengedepankan individualistik. Setidaknya, itulah sebabnya dalam ajaran Islam itu, sangat dianjurkan untuk melakukan sholat berjamaah, selain untuk membangun dan menjaga rasa kebersamaan, tapi pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial atau yang lebih filosofis religius disebut khalifatullah di muka bumi.
Jadi konsep ideal dari kebersamaan itu bisa berpegang pada pakem Islam yang sejatinya sosialis itu. Atau sosialisme yang Islamis. Karena orang sosialis belum tentu Islam. Tapi orang Islam yang kaffah pasti sosialistik sifat dan perilakunya.
Hasrat untuk menyentuni
Anak Yatim piatu, mau berdoa untuk sesama Muslim yang jauh nun di sana, yang tidak pernah dia kenal sebelumnya siapa nama dan latar belakang keluarga serta warna kulit, toh doa tetap dilanjutkan juga.
Jadi Islam dan sosialisme dua pemahaman yang patut dimengerti dalam satu tarikan nafas tak boleh salah ditafsirkan secara sembromo karena bisa keliru hingga ke langit ketujuh. Itu, kata mentor spiritual saya yang enggan untuk disebut namanya. Sebab sosialisme dan Islam sendiri yang sejati itu tak perlu disesumbarkan, cukup untuk dipahami dan diamalkan atau ejawantahkan dalam kehidupan agar memperoleh berkah dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Banten, 25 Oktober 2022